Peran Bulog sebagai Lembaga Regulator Pangan

PENULIS: ENTANG SASTRAATMADJA , KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT

Dalam bukunya “Ekonomi Kelembagaan Pangan”, Bustanul Arifin (2005) dengan gamblang telah memberi gambaran bahwa di negeri ini, yang disebut dengan BULOG atau sejak tahun 2003 berubah menjadi Perum BULOG, adalah kelembagaan yang pantas disebut sebagai lembaga regulator untuk komoditas pertanian strategis. Dalam bahasa lainnya Perum BULOG layak dinamakan sebagai “lembaga parastatal”, yaitu lembaga yang umumnya didirikan untuk membantu melakukan pengadaan dan pembelian produk petani pada saat musim panen dan melakukan operasi pasar pada masa-masa sulit/peceklik. Menurut Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 7/2003, sifat usaha Perum Bulog adalah “menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan umum dan sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan. Perum Bulog diberi keleluasaan untuk menyelenggarakan usaha logistik pangan pokok yang bermutu dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak”.  Perum Bulog juga “melaksanakan tugas-tugas tertentu yang diberikan Pemerintah dalam pengamanan harga pangan pokok, pengelolaan cadangan pemerintah dan distribusi pangan pokok kepada golongan masyarakat tertentu, khususnya pangan pokok beras dan pangan pokok lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah dalam rangka ketahanan pangan”. Menurut telaahan DR. Husen Sawit (2003) dalam buku “Bulog Baru” disebutkan bahwa pada tahap awal, aktivitas usaha Perum Bulog difokuskan pada konsolidasi industri perberasan atau usaha logistik sebagai “core business”. Implementasi usaha komersial perlu diarahkan untuk mendukung pelayanan publik dengan lebih mengutamakan pada kegiatan perdagangan dan jasa. Selain itu, Perum Bulog melakukan investasi dalam pengolahan gabah menjadi beras melalui kepemilikan mesin penggilingan beras (RMP = Rice Milling Plant) untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing system produksi beras di tanah air.  Itulah sebabnya, ke depan Perum Bulog perlu memantapkan kegiatan bisnis jangka pendeknya seperti telah disebutkan diatas, agar mampu memberikan kontribusi dalam mengurangi beban subsidi pada operasi publiknya, sehingga fungsi Bulog, dalam hal ini tugas bisnis dan tugas publik, telah mampu berjalan sebagaimana mestinya.  Paling tidak, beban subsidi Pemerintah untuk penugasan publik telah dapat ditanggulangi dari keuntungan usaha komersial bisnisnya. Identitas baru Perum Bulog sebenarnya dapat lebih diarahkan untuk memantapkan usaha komersialnya ke depan serta diversifikasi usaha yang lebih menguntungkan dalam jangka yang lebih panjang. Identitas baru Perum Bulog tentu saja diperbolehkan mengurangi tanggungjawab publiknya dan menekankan pada fungsi bisnis untuk mencari keuntungan maksimum. Persoalan yang paling krusial dalam masa transisi adalah bahwa bagaimana Perum Bulog mampu menjalankan fungsi social (PSO) dan fungsi bisnis komersial sekaligus.  Maksudnya, masyarakat memerlukan penegasan informasi yang lebih transparan tentang tugas pengembangan “strategi bisnis” dan “tanggungjawab publiknya” dalam konteks ketahanan pangan. Di masa lalu, tanggungjawab publik atau penugasan pemerintah (PSO) yang sangat strategis kepada Perum Bulog adalah pengadaan gabah dalam negeri dan penyaluran beras murah untuk keluarga miskin (raskin), yang tentu saja memerlukan kerja-sama dengan pemerintah daerah di seluruh Indonesia.  Semakin tidak jelas pengalihan tugas publik ini kepada pemerintah daerah di seluruh Indonesia, semakin kacau masa depan system ketahanan pangan nasional. Apalagi jika pemerintah daerah lambat mengantisipasi tugas-tugas “emergency”, misalnya pada masa bencana alam, kekeringan, banjir dan kerusuhan sosial lainnya. Perubahan fungsi Bulog sebagai lembaga parastatal, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh negara-negara lain, khususnya di Asia Timur dan Selatan. Pengalaman memberi bukti, pada awalnya pendirian lembaga regulator pada dasarnya berupa respon atau keprihatinan pemerintah terhadap bencana kelaparan.  Hal ini mirip dengan sejarah Bulog, yang awalnya dibentuk dengan pendekatan mirip logistik militer, untuk mengatasi kelaparan dan bencana inflasi dahsyat pada akhir rezim Orde Lama.  Tidak jarang pendekatan totalitas intervensi negara yang lebih dekat dengan “dogma sosialis” menganggap para pedagang sebagai parasit ekonomi, sehingga lembaga publik dianggap lebih layak menangani stabilisasi harga agar tidak terjadi fluktuasi harga yang dahsyat antara harga di tingkat produsen dan konsumen. Sebagai gambaran, di India ada yang disebut dengan lembaga FCI (Food Corporation of India). Skema kerjanya mirip dengan Bulog yaitu : pertama, memberi perlindungan harga, kedua, mendistribusikan pangan murah kepada kelompok miskin dan ketiga, mempertahankan stock penyangga untuk kepentingan strategis ketahanan pangan tingkat nasional. Di Philipina ada yang disebut NFA (National Food Authority) yang merupakan penggabungan dari dua lembaga yaitu “Badan Beras dan Jagung” dan “Administrasi Beras dan Jagung”. Mandat yang diberikan kepada NFA adalah melindungi konsumen, mengusahakan swasembada beras dan, mengembangkan teknologi paska panen untuk semua bahan pangan.  Fungsi nya pun mirip dengan Bulog yaitu pertama, stabilisasi harga beras sepanjang tahun, kedua, aksesibilitas beras bagi seluruh perduduk Philipina dan ketiga, jaminan harga gabah yang layak bagi petani untuk meningkatkan pendapatannya. Seiring dengan perkembangannya, NFA ini diberi mandat tambahan komersial sehingga menjadi 1) perdagangan, 2) pengaturan, 3) Agen pembangunan dan 4) korporasi. Di Pakistan ada yang namanya PASSCO (Pakistan Agricultural Storage and Services Corporation) yang fungsi pokoknya adalah melindungi harga, stabilisasi harga, fasilitas penyimpanan dan infrastruktur pemasaran dan pengembangan teknologi paska panen. Di Bangladesh ada yang disebut “Food Departement”. Di negeri ini penyesuaian lembaga parastatalnya sudah cukup jauh melakukan liberalisasi perdagangan, karena menempuh fungsi pengadaan dan stabilisasi harga pangan melalui satu direktorat di Departemen Pangan mereka. Dalam decade terakhir, sector swasta diperkenankan melakukn impor pangan. Berbagai fasilitas dan privilis, juga dicabut, yang selama ini dinikmati oleh rekanan lembaga pemerintah tersebut. Di Vietnam ada VINAFOOD (setara dengan BUMN). Hal-hal prinsip yang perlu dicermati, ternyata posisi petani telah ditempatkan sebagai satuan dasar produksi, bukan lagi koperasi. Subsidi pemerintah dikurangi agar kapasitas organisasi/kelembagaan meningkat, kemampuan daya saing dan kompetensi di arena persaingan global yang makin keras. ***