“Mimpi indah” Kedaulatan Pangan

Oleh : Entang Sastraatmadja/ KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT

Geliat globalisasi dan komersialisasi pangan, yang saat ini disinyalir sudah memasuki ranah konsumsi masyarakat,  tidak sepatutnya kita terima mentah-mentah. Kita tetap dituntut untuk selektif dalam menterjemahkan setiap intervensi itu dengan penuh kearifan dan pertimbangan. Dari fenomena yang sedang berkembang dan merambah hingga ke sisi konsumsi masyarakat, pola pikir dan pandangan   kedaulatan pangan yang tersosialisasikan dengan baik kepada seluruh stakeholders,  sudah sepantasnya mampu meredam mewabahnya komersilisasi pangan. Oleh karena itu, kita berharap agar konsepsi  kedaulatan pangan sendiri, mestinya tidak tumbuh hanya sekedar wacana, atau bahkan muncul menjadi “basa-basi politik”,  tapi harus benar-benar diyakini, dipahami dan tentu mesti dapat  terterapkan dalam kehidupan warga masyarakat sehari-hari. Kedaulatan pangan tentu bukan cuma sebuah pandangan yang cukup bagus di atas kertas atau sangat memukau ketika dijadikan bahan pidatonya para pejabat, namun sesuai dengan semangatnya, kedaulatan pangan mestilah mampu menjadi pilihan strategis dalam mencari solusi permasalahan pembangunan pangan secara universal. Terobosan yang dilakukan oleh beberapa Kepala Daerah, lewat pencanangan pemanfaatan lahan pekarangan guna meningkatkan gizi dan ketahanan pangan keluarga, pada hakekatnya merupakan bukti nyata atas keseriusannya dalam menterjemahkan makna kedaulatan pangan ke suasana riil di masyarakat.  Masalah kedaulatan pangan tentu akan terkait erat dengan kemampuan suatu masyarakat dalam memantapkan ketahanan pangan, terutama di tingkat rumah tangga hingga ke perorangan. Dari beragam pilihan yang ada, semangat untuk mengoptimalkan lahan pekarangan yang selama ini masih belum dioptimalkan, pada dasarnya merupakan langkah yang sangat mungkin untuk digarap dan dikembangkan. Sebagai fasilitator dan regulator Pemerintah penting untuk mengkampanyekan sekaligus mensosialisasikan  gerakan ini, sehingga secara lambat laun masyarakat akan semakin memahami arti pentingnya optimalisasi lahan pekarangan. Pengalaman masa lalu, tentang fenomena pemanfaatan lahan pekarangan untuk tanaman obat-obatan (baca : apotik hidup) yang ujung-ujungnya lebih berbau slogan, diharapkan tidak akan menular terhadap semangat optimalisasi lahan pekarangan untuk peningkatan gizi masyarakat dan ketahanan pangan ini.  Para sahabat yang tergabung dalam organisasi petani seperti KTNA, HKTI, HNSI, KTHA, dan sejenisnya, sudah saatnya pula tampil sebagai “mediator” dalam menjembatani kehendak politik Pemerintah dengan aspirasi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Begitu juga dengan organisasi kepemudaan seperti KNPI, Karang Taruna maupun organisasi kemasyarakatan lain seperti PKK, sangatlah diharapkan peran aktifnya guna menopang gerakan sebagaimana yang telah dikemukakan diatas. Kalau saja seluruh stakeholders dapat berkomitmen untuk bahu membahu, merapatkan barisan, menyingsingkan lengan baju, dan memandang kegiatan ini sebagai “gerakan” dan “perjuangan”, tentu kita dapat optimis bahwa optimalisasi lahan pekarangan, bukanlah sekedar kegiatan rutin seorang Kepala Daerah, namun seiring dengan itu termaktub pula semangat baru untuk meningkatkan ketahanan pangan masyarakat, khususnya ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Kedaualatan pangan tidak mungkin akan terkesan mulus tanpa terjelmanya suatu ketahanan pangan. Begitu pula sebaliknya, ketahanan pangan tidak mungkin akan tercapai dengan sempurna, sekiranya tidak dibarengi dengan suasana kedaulatan pangan. Oleh sebab itu, kalau kita bersikeras untuk menjadikan ketahanan pangan sebagai salah satu isu utama dalam pembangunan pangan di masa depan, maka jangan sekali-kali melupakan makna dan posisi strategis dari kedaulatan pangan itu sendiri. Artinya, ketahanan pangan sudah pasti “inheren” dengan kedaulatan pangan. Kecukupan pangan, ketahanan pangan dan kedaulatan pangan adalah isu utama yang menjadi bagian penting dari pembangunan pangan. Sebagai kelembagaan formal dan terstruktur dari Pusat hingga Daerah (baik Propinsi atau Kabupaten/Kota), keberadaan Dewan Ketahanan Pangan, diharapkan mampu menjadi “kawah candradimuka” dalam mencari solusi terbaik atas persoalan pembangunan pangan yang tengah kita hadapi. Lewat lembaga inilah seluruh stakeholder berkehendak agar yang namanya stunting, obesitas, “rawan pangan”, “gizi buruk”, dan “kelaparan” masyarakat akan dapat tertangani. Dewan Ketahanan Pangan inilah yang dimintakan untuk mampu secepatnya menelorkan pikiran-pikiran terbaiknya dalam rangka perwujudan ketahanan pangan masyarakat.  Bangsa ini tetap menunggu gerak dan langkah Dewan Ketahanan Pangan dalam mencari jawab atas merebaknya suasana rawan pangan atau rawan daya beli di berbagai daerah. Itulah sebab utamanya, mengapa posisi, peranan, fungsi dan kedudukan Dewan Ketahanan Pangan dalam pentas pembangunan, bukan hanya sekedar lembaga “papan nama”, tapi masyarakat tetap menanti kiprah nyata lembaga yang cukup bergengsi dan berwibawa ini. Paling tidak, rakyat tetap berkeinginan agar Dewan Ketahanan Pangan ini mampu merumuskan “jurus-jurus maut”, dapat merancang pilihan-pilihan terbaiknya,  guna menghadapi dilemma pembangunan pangan di negeri ini. Kedaulatan pangan sendiri, tentu tidak mungkin terlepas kaitannya dengan semangat dan kiprah Dewan Ketahanan Pangan. Kedaulatan pangan adalah sebuah suasana dimana rakyat dapat menentukan dan menggunakan hak-hak dasarnya selaku warga Negara untuk menentukan kata hati dan kiprah hidupnya, khususnya yang berhubungan dengan sisi produksi, distribusi dan konsumsi pangan. Dalam rangka merajut kepentingan bersama inilah, peran Dewan Ketahanan Pangan benar-benar sangat strategis dan menyimpan harapan yang cukup dalam. Bukan saja lembaga ini diharapkan mampu membaca tanda-tanda jaman yang sedang bergulir, dapat menangkap suara-suara rakyat, berkenan untuk menyikapi globalisasi, namun sesuai dengan jatidiri yang melekat dalam kelembagaannya, maka dengan seluruh daya dan kekuatan yang dimilikinya, bangsa ini tetap berharap agar Dewan Ketahanan Pangan dapat tumbuh dan berkembang serta berani untuk melahirkan terobosan-terobosan berpikir baru dan inovatif. Suatu kelembagaan yang langsung diketuai oleh Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota, mestinya harus lebih menggeliat dalam berkiprah ketimbang dengan kelembagaan yang diketua oleh seorang aktivis atau seorang pejuang. Dengan berbagai “kelebihan” dan “kekuatan” yang dimilikinya, Dewan Ketahanan Pangan pasti akan lebih mampu berbuat dibandingkan dengan lembaga semacam Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI). Oleh sebab itu, akan terasa hambar, ibarat sayur asam tanpa garam, bila kemudian terlihat bahkan terasakan gerakan dan produk-produk dari Dewan Ketahanan Pangan dinilai biasa-biasa saja. Harapan kita, semoga dengan hadirnya Dewan Ketahanan Pangan di tanah merdeka ini, akan menjadi “entry point” tercapainya akselerasi kedaulatan pangan. Ini penting diyakini, karena kalau saja suatu bangsa sudah mampu berdaulat dalam hal pemenuhan akan bahan pangan utamanya, maka secara umum dapat disimpulkan bahwa bangsa tersebut benar-benar telah mampu mengejawantahkan sebagian dari hak-hak dasar warga negaranya. Sayang per 26 Nopember 2020 lewat Perpres 112 Tahun 2020 Dewan Ketahanan Pangan sudah dibubarkan. Kini banyak pihak menunggu, apa langkah Pemerintah untuk mengkoordinasikan pembangunan ketahanan pangan ? Tanpa ada nya lembaga semodel Dewan Ketahanan Pangan, wajar banyak kalangan yang meragukan kekokohan ketahanan dan kedaulatan pangan. Lebih-lebih lagi jika bangsa ini dilanda krisis pangan. ***