Pemilihan Pj Kepala Daerah Dinilai Belum Transparan, akuntabel dan partisipatif

Ilustrasi

Ilustrasi

BANDUNG, roemahmedia.com - Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menilai bahwa, pemilihan dan pemberhentian Pejabat (Pj) Kepala Daerah masih belum transparan, akuntabel dan partisipatif. Direktur Eksekutif KPPOD Armand Suparman mengatakan, hal tersebut berkaca bahwa sejak tahun lalu belum ada jaminan dari sisi peraturan untuk proses pemilihan dan pengangkatan Pj Kepala Daerah yang akuntabel, transparan dan partisipatif. Pasalnya tahun lalu, kata Armand mengungkapkan, Kementerian Dalam Negeri melakukan proses pemilihan dan penempatan Pj berdasarkan peraturan sebelumnya yang menurutnya tidak sesuai dengan kondisi saat ini. "Peraturan dahulu itu dia masih konteks untuk cuti kampanye yang masanya 3 hingga 7 bulan. Sehingga KPPOD mendorong adanya aturan turunan dari UU 10/2016 terkait dengan pemilihan Pj untuk satu dua tahun ini sampai 2024," jelasnya seperti dilansir Kontan.co.id, belum lama ini. Armand mengatakan, rekomendasi yang diberikan Ombudsman RI juga menyatakan bahwa harus ada peraturan pemerintah yang mengatur soal pemilihan Pj Kepala Daerah saat ini. KPPOD menyoroti tiga masalah mengenai pemilihan dan pengangkatan Pj Kepala Daerah. Pertama mengenai prosesnya, jika melihat pada peraturan Menteri Dalam Negeri No 4 tahun 2023 tidak berbeda jauh dengan aturan sebelumnya. Hanya saja, poin baru dalam aturan tersebut untuk Pj Bupati/Walikota adalah memasukkan tiga nama usulan DPRD kabupaten/kota dan juga tiga nama usulan gubernur. Kemudian tiga nama usulan dari Kementerian Dalam Negeri. Sedangkan untuk Pj Gubernur ada enam nama yakni tiga dari DPRD Provinsi dan tiga nama dari Kemendagri. Akan tetapi KPPOD melihat proses pemilihan hanya terjadi di internal instansi itu saja. “Prosesnya hanya antar internal DPRD, sampai di kementerian dalam negeri kita tidak mengetahui proses tiga nama yang diusulkan. Kemdagri tidak membuka secara transparan,” kata Armand. Adapun nama-nama yang menjadi usulan Pj Kepala Daerah yang biasanya sudah beredar di masyarakat merupakan yang berasal dari usulan DPRD. Sedangkan usulan diketahui dari Kementerian Dalam Negeri Ia menilai belum publik. “Kita dorong Kemendagri buka itu,” imbuhnya. Kemudian untuk nama-nama yang menjadi Pj Gubernur Armand menjelaskan masyarakat memiliki kewenangan untuk memberikan masukan. Publik kata Armand berhak memberikan penilaian atau masukan terhadap calon calon Pj Kepala Daerah. Jadi saat keluar keputusan penetapan Pj kepala daerah baik Bupati Walikota dan Gubernur kita kayak kaget. Makanya kira dorong ini agar proses bisa akuntabel, transparan dan partisipatif,” imbuhnya. Sementara itu, Ombudsman RI menyebut tahun 2023 ini ada 85 Pj kepala daerah yang akan diangkat menjelang pemilu 2024. Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng mengatakan, bulan Juli tahun lalu sudah menerbitkan laporan pemeriksaan terhadap kasus terkait dengan Pj Kepala Daerah. Di mana dalam laporan tersebut Ombudsman menilai ada maladministrasi dalam proses pengangkutan Pj. Dari sana tindakan korektif sudah dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri. Berdasarkan perkembangan yang terjadi di sejumlah provinsi dan kabupaten/kota yang akan segera berganti kepala daerah, Ombudsman menilai transparansi informasi dan proses keterbukaan belum dilakukan. “Hampir tidak kelihatan, padahal pengangkatan pejabat kepala daerah ini bukan pengangkatan pejabat biasa, bukan pula pengangkatan seperti ASN, di mana ini hanya berlangsung di birokrasi internal atau di kalangan elite parpol atau fraksi-fraksi yang ada di DPRD,” ucap Robert. Robert meminta agar proses keterbukaan informasi dan transparansi dimulai sejak tahap pengusulan. Setidaknya Robert mengatakan apabila tidak dilakukan penjaringan aspirasi dari masyarakat, ada pengumuman dimulainya tahapan penjaringan nama kepada masyarakat. "Kita tidak mendapatkan ada contoh bagus dari suatu daerah di mana pengajuan usulan nama itu sudah mendapatkan tanggapan atau opini di kalangan masyarakat. Lebih banyak ini hasil pertarungan, kontestasi, atau kompromi di kalangan elite politik yang ada di fraksi-fraksi di DPRD bersangkutan," katanya Maka, kembali Ombudsman meminta adanya transparansi informasi, keterbukaan proses bahkan partisipasi masyarakat dalam pengajuan usulan pj kepala daerah. Kedua, Ombudsman meminta pemanggilan pj kepala daerah baik provinsi atau kabupaten/kota berasal dari kalangan sipil. Jika terdapat nama dari latar belakang TNI maka Robert mengatakan yang bersangkutan harus mengajukan permohonan pensiun dini. Hal tersebut sesuai UU 4/2023. “Tidak boleh lagi ada usulan nama-nama yang berasal dari latar belakang tentara atau militer. Hanya bisa berkarya di 10 Lembaga-lembaga yang sudah ditetapkan. Tapi dari 10 itu tidak ada yang terkait dengan jabatan sebagai pejabat kepala daerah,” kata Robert.