Kadis DSDA Jabar Dicky: Keberlangsungan Air Permukaan Terancam, Jika Air Tanah Menipis

Kepala Dinas SDA Jabar Dicky Ahmad Sidik.

Kepala Dinas SDA Jabar Dicky Ahmad Sidik.

BANDUNG, roemahmedia.com - Penurunan air tanah akan mengancam keberlangsungan ar permukaan. Secara umum air memiliki berbagai manfaat penting bagi kehidupan, namun saat ini persoalan air kian banyak diantaranya krisis air tanah termasuk di Jawa Barat. Orang kini banyak memanfaatkan air tanah hingga mengakibatkan sejumlah persoalan penurunan permukaan air tanah, belum lagi adanya persoalan lain yakni pencemaran air tanah. Kepala Dinas Sumber Daya Air Provinsi Jawa Barat, Dikky Achmad Sidiq mengingatkan akan pentingnya air serta menjaga sumber daya air, termasuk keberlangsungan air permukaan dan air tanah. . Menurut Dicky, kondisi saat ini air tanah terus mengalami penurunan hingga bisa dikatakan sudah tahap kritis terutama di daerah-daerah yang banyak pemukiman dan industri. Kondisi air tanah ini harus menjadi perhatian banyak pihak. Kondisi air tanah mengalami penurunan seiring dengan adanya kebutuhan air yang terus meningkat dengan adanya pertumbuhan penduduk serta industri. Dicontohkan Dicky, Cekungan Bandung untuk kebutuhan air baku ada "gap" di tahun 2015 yakni 7 kinik per detik. Defisitnya air tanah akibat kian dieksploitasi air ini sudah cukup lama. Bahkan dari hasil studi sudah ada penurunan. Hal ini menjadi barometer bahwa kondisi air tanah sudah bisa dikatakan kritis khususnya di daerah yang defisit suplai dan demand termasuk di Kota Bandung. "Karena tak adanya ketersediaan air baku permukaan, orang mengeksploitasi air tanah secara berlebihan," katanya. Melihat kondisi ini, katanya, perlu adanya upaya perbaikan demi keberlangsungan air tanah diantaranya melakukan konservasi air tanah dan salah satu cara natural adalah melakukan penanaman pohon atau bisa juga dengan membangun sumur resapan dan sumur imbuhan. Untuk melakukan konservasi air tanah ini butuh dukungan berbagai pihak termasuk pihak swasta dan dukungan dari masyarakat yang bisa turut menjaga keberlangsungan air tanah dengan menanam pohon serta membuat sumur resapan atau biopori. "Kami juga mengimbau kepada masyarakat untuk melakukan penghematan air. Pemakaian air kita rata-rata 200 liter perhari, sementara standar WHO hanya 60 liter perhari, ini berarti kita sudah melakukan pemakaian melebihi standar, dan perlu adanya upaya melakukan penghematan bersama-sama," katanya. Di lokasi yang sama, Prof Waluyo Hatmoko, Profesor Riset Bidang Tata Kelola Sumber Daya Air, mengatakan Indonesia secara umum menjadi negara nomor 4 di dunia dengan air terbanyak, terlebih di Jawa Barat yang menjadi gudangnya air. Namun kondisi tersebut jauh berbeda karena dicontohkan Kota Bandung mengalami kesulitan air termasuk air minum. Selama ini untuk memenuhi air tersebut berasal dari Pengalengan yang dialirkan melalui pipa besar kurang lebih 2-3 meter kinik perdetik. Angka ini sangat kecil untuk memenuhi kebutuhan penduduk Bandung Raya hingga untuk menutupi kebutuhan, masyarakat mengambil air tanah. "Saat ini banyak masyarakat menggunakan alat yang pompanya ditanam di tanah hingga 40 meter untuk menyedot air. Hal ini semakin membuat permukaan air tanah kian menurun. Bisa normal kembali tapi membutuhkan waktu puluhan bahkan bisa ratusan tahun," katanya. Menurutnya, untuk mengatasi krisis air tanah tak bisa hanya dengan kampanye namun perlu mekanisme yang memaksa. Dicontohkan, PDAM sudah memberlakukan tarif progresif, selain itu ia mencontohkan negara China sudah memberlakukan penggunaan token untuk pemenuhan kebutuhan air warga. "Di China pakai token, seperti kalau di Indonesia, token listrik, jadi ini bisa diterapkan sebagai salah satu cara menghemat air. Kalau pakai token diharapkan dapat hemat. Atau bisa dengan memanfaatkan teknologi alat penghemat air," katanya. Imbauan agar masyarakat menghemat air juga diungkapkan Tokoh Masyarakat dan Budayawan Popong Otje Djundjunan. Ia meminta agar penghematan air harus dilakukan untuk mencegah krisis air, selain itu perlu adanya dukungan dari pemerintah daerah yang diikuti oleh pemerintah di bawahnya mulai dari tingkat kabupaten kota dan seterusnya. "Perlu persamaan persepsi untuk mengatasi persoalan air ini," katanya.