Pengangguran Jabar Turun 217.000 orang, di tengah Ancaman PHK Nasional

Tabel Angka Pengangguran di Jabar (data dari Disnakertrans Jabar.)

Tabel Angka Pengangguran di Jabar (data dari Disnakertrans Jabar.)

BANDUNG - Angka pengangguran di Jabar tercatat positif, turun dengan jumlah tertinggi sejak tahun 2021. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Jabar menunjukkan jumlah pengangguran di Jawa Barat pada Februari 2024 sebanyak 1,79 juta orang, turun 217.000 orang dibandingkan Februari 2023. Demikian dikemukakan Kepala BPS Jabar Marsudijono, saat menyampaikan rilis LPE di kantor BPS Jabar, Kota Bandung, Senin (6/5/2024). Dari data Disnakertrans Jabar juga menunjukkan penurunan pengangguran tri wulan 1 tahun 2024 tertinggi sejak 2021 (lihat tabel). Kendati demikian, Jabar seperti daerah lainnya, sedang diterpa ancaman PHK akibat sejumlah perusahaan padat karya yang sudah dan terancam gulung tikar. Contohnya, naru saja kabar baik soal turunnya pengangguran di Jabar, tiba-tiba kabar tak sedap terjadi saat perusahaan legendaris Sepatu Bata tutup. Di sisi lain satu per satu perusahaan bertumbangan. Ada yang tutup sepenuhnya, ada juga yang memang memilih pindah ke wilayah lain, seperti Jawa Tengah. Selain Bata, salah satu yang terbaru lainnya adalah PT Eins Trend, perusahaan garmen yang juga berorientasi ekspor kini dilaporkan tutup. Kabar PHK di industri manufaktur juga mencuat setelah unggahan video PHK di PT Hung-A Indonesia viral. PHK itu disebut-sebut bakal 'menelan korban' sekitar 1.500 pekerja. Disebutkan, PT Hung-A Indonesia melakukan PHK atas ribuan pekerjanya karena menutup operasional Februari 2024. Beredar kabar, pabrik ban asal Korea Selatan (Korsel) itu tengah berencana segera hengkang dari Indonesia dan Vietnam akan jadi lokasi baru untuk membangun pabriknya. Melansir data milik Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), tercatat jumlah tenaga kerja yang terkena PHK pada Januari-Oktober 2023 mencapai 237.080 orang. Korban PHK terus konsisten meningkat selama periode tersebut dari 2.867 per Januari 2023 menjadi 45.576 per Oktober 2023. Jawa Barat menjadi Provinsi dengan jumlah PHK terbesar pada Januari-Oktober 2023 sebanyak 88.981 orang. Dan Provinsi dengan jumlah korban PHK terendah ada di Sulawesi Barat sebanyak 16 orang. Di sisi lain, kabar buruknya, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyatakan tren pemutusan hubungan kerja (PHK) akan berlanjut di tahun 2024 mendatang. Wakil Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo Darwoto mengungkapkan berlanjutnya tren PHK di tahun 2024 didorong oleh digitalisasi, khususnya pada sektor alas kaki, tekstil dan produk tekstil , dan manufaktur. Darwoto mengatakan, sebuah perusahaan bisa melakukan pengurangan tenaga kerjanya di tahun 2024 hingga 50% karena digitalisasi. Ia menyebut industri alas kaki dan TPT menjadi dua subsektor manufaktur yang paling tertekan dari sisi penyerapan tenaga kerja tahun 2024 akibat digitalisasi. "Salahsatunya tertekan karena pengaruh digitalisasi, tapi juga karena pelemahan permintaan global. Situasi global memang berpengaruh pada industri alas kaki dan TPT," ujarnya. Sementara itu, nbanyak faktor penyebab lainnya yang menyeruak. Seperti dikemukakan Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bob Azam, faktor penyebab sejumlah perusahaan padat karya tutup, terjadi karena perlambatan ekonomi dunia. Secara global, dunia usaha sedang menghadapi perlambatan ekonomi sehingga persaingan tambah ketat karena market melambat dan mengecil. Yang tidak efesien akan menghadapi persoalan daya saing. Menurut Bob, paling tidak tahun ini saja setiap perusahaan harus menaikkan produktifitas lebih dari 7% untuk mengabsorb kenaikan-kenaikan karena gaji kaitan kenaikan UMK, bahan baku langka dan mahal, pelemahan rupiah dan lain lain. Berbagai faktor itu membuat perusahaan harus melakukan efisiensi, salah satunya melakukan PHK. Di sisi lain, ketika upaya efisiensi tersebut maksimal, cara terakhir harus dilakukan yakni menaikkan harga produknya. Perusahaan terpaksa menaikkan harga padahal konsumen sedang kekurangan daya beli, akibatnya daya saing produk melorot dan ada kemungkinan order menurun. Menghadapi situasi itu, maka perlu dilakukan upaya signifikan dalam mengantisipasi kenaikan berbagai faktor seperti bahan baku dan kenaikan gaji. "Itulah kita harus berjuang menaikkan produktifitas perlu kerjasama management & pekerja termasuk pemerintah juga harus support," ujar Bob.***