Biaya Transportasi Ekspor Kopi Naik Tajam, Petani Jabar Kena Dampak

Pemerhati Agribisnis dan Praktisi Kopi Arabika Java Preanger M. Atamimi.

Pemerhati Agribisnis dan Praktisi Kopi Arabika Java Preanger M. Atamimi.

BANDUNG, roemahmedia.com - Biaya ekspor kopi dari Jabar membengkak sampai tiga kali lipat akibat mahalnya biaya transportasi pengiriman kopi ke negara tujuan, terutama biaya kontainer. “Biasanya persentase biaya transportasi ini hanya 5% dari total harga kopi per kg, tapi sekarang menggerus hingga 20% dari harga kopi per kg,” ujar Pemerhati Agribisnis dan Praktisi Kopi Arabika Java Preanger M. Atamimi, Selasa, 3/8. Mau tidak mau, eksportir harus tetap mengirimkan kopi ke negara tujuan karena sudah terikat kontrak. “Jika tidak dikirim kita akan kena penalti, nanti perusahaan bisa diblack list,” ujar Atamimi. Kenaikan tajam biaya transportasi ini, tidak terlepas dari makin jarangnya kontainer yang masuk ke Indonesia dari negara-negara importir kopi akibat pandemi Covid-29.   Atamimi mencontohkan, pihaknya biasanya memanfaatkan masuknya kontainer kiriman barang dari negara importir saat akan kembali ke negaranya diisi dengan kopi. Namun akibat pandemi Covid-19 banyak negara melakukan lockdown jadi pengiriman kontainer bermuatan barang ke Pelabuhan jadi menurun tajam. “Sekarang terpaksa mengadakan kontainer sendiri dan ini jadi sangat mahal,” ujar Atamimi. Diungkapkan Atamimi, pelaku usaha ekspor kopi yang tidak terikat kontrak langsung dengan negara importir atau hanya sebagai agen, banyak yang menghentikan sementara usaha kopinya. Ini berdampak kepada para petani kopi yang akan kesulitan memasarkan kopinya untuk pasar ekspor karena tidak dibeli oleh agen atau pelaku usaha ekspor kopi tersebut. Berkiatan dengan kenaikan biaya tersebut, Atamimi mengungkapkan hal mahalnya biaya transportasi tersebut berdampak negatif kepada para petani kopi arabika yang memasok produk kopinya untuk pasar ekspor. Seperti yang terjadi kepada para petani kopi Ciwidey Kab. Bandung. Petani kopi Ciwidey permintaan kopi untuk ke luar negeri banyak yang terhenti , sehingga terpaksa menurunkan harga ceri atau buah kopi hingga setengah dari harga standar. “Sejak adanya pandemi Covid 19 para petani tersebut tidak bisa melakukan pengiriman ke luar negeri atau ekspor produk,” ujar Atamimi. Di sisi lain, banyak para pengolah atau pelaku usaha kopi memutus kontrak dengan para petani. Dari tahun kemarin sudah anjlok (harga), dari awal pandemi, karena banyak yang gagal juga, salah satunya gagal kontrak.  Jadi banyak pengolah tahun kemarin yang dapat kontrak, baru saja setengah atau seperempatnya (proses produksi), kontraknya putus ditengah jalan. “Alasannya karena tidak ada angkutan untuk ekspor,” ungkap Atamimi. Menurut Atamimi, para petani tersebut awalnya memiliki kontrak 80 ton, tapi hanya bisa 30 persen, karena diputus kontrak dari Jakarta-nya. Akibatnya sudah jelas petani akan mengalami kerugian. Di sisi lain, para pengolah kopi juga mengalami kerugian karena tidak adanya target pasar. “Karena enggak bisa ekspor, petani lantas menjual murah kopi, nah, itu yang bikin anjlok harga, jadi dijual dengan harga yang seadanya, yang penting laku,” jelas Atamimi. Sementara, pelaku usaha kopi lokal Feri Ferdiansyah mengatakan, pihaknya terus bertahan untuk memproduksi kopi agar dapat memenuhi permintaan pasar, meskipun terjadi penurunan karena banyak kafe yang tutup dampak pandemi. "Terdampak jelas ada, tapi kami berusaha untuk tetap bertahan berkolaborasi dengan teman-teman yang bergerak di jual beli online," katanya.