DPRD Jawa Barat Kritik Soal Investasi dan Daya Serap Tenaga Kerja

Wakil Ketua DPRD Provinsi Jawa Barat dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Iwan Suryawan di Kota Bandung. Senin, (11/11/24).

Wakil Ketua DPRD Provinsi Jawa Barat dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Iwan Suryawan di Kota Bandung. Senin, (11/11/24).

BANDUNG - Wakil Ketua DPRD Provinsi Jawa Barat dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Iwan Suryawan mengkritisi masih tingginya tingkat penghalang terbuka (TPT) di Jabar periode Agustus 2024 yang menembus diangka 6,75% tertinggi dibandingkan 4,91%. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Jabar disebutkan, tinggi TPT tersebut dikontribusi dari tak terserapnya tenaga kerja tingkat pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yakni sebesar 12,74%. Data BPS Provinsi Jawa Barat menyebutkan apabila dilihat berdasarkan pendidikan tertinggi yang ditamatkan. TPT pada Agustus 2024 mempunyai pola yang sama dengan Agustus 2023. Pada Agustus 2024, TPT dari lulusan Sekolah Menengah Kejuruan masih mempertahankan angka paling tinggi dibandingkan lulusan jenjang pendidikan lainnya, yaitu sebesar 12,74%. “Tidak serasi (selaras) antara lulusan SMK dengan kebutuhan industri menjadi salah satu penyebab masih tingginya penurunan untuk jenjang SMK,” kata Iwan Suryawan, Kota Bandung, Senin (11/11/2024). Perlu ada niat baik dari Pemerintah Daerah Provinsi (Pemdaprov) Jabar untuk mengatasi tingginya TPT di Jabar. Selain harus mencocokkan-nya sinkronisasi SMK dengan kebutuhan industri saat ini, investasi yang masuk ke Jabar pun diharapkan mampu menyerap tenaga kerja, salah satunya tingkat SMK yang masih tinggi tingkat pemadamannya. “Jadi memang mungkin ini yang harus menjadi kajian bersama bagaimna meningkatkan peluang kerja itu semakin luas dengan mengikuti perkembangan perkonomian hari ini, dan perkembangan pekerjaan berbasis teknologi (padat modal),” tegas Iwan Suryawan. Selain itu, ia juga mengkritisi gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang terjadi akhir-akhir ini karena berbagai faktor. Seperti relokasi beberapa pabrik di Jabar ke daerah lain, produk impor gerus produk lokal hingga beban upah yang dinilai pemberi kerja terlalu tinggi. “Tentunya ini kaitannya dengan kebijakan pemerintah, dan kebijakan ketenagakerjaan, kondisi pertumbuhan ekonomi yang melambat, biaya upah dan segala macamnya,” ucapnya. Memang hampir semua keinginan dari pegawai mendapatkan upah yang lebih baik untuk kesejahteraan. Namun memang ada beberapa yang menjadi pertimbangan yaitu, tentang kemampuan dari perusahaan tersebut, niat baik perusahaan tersebut, kedua belah pihak harus sama-sama diakomodir (soal beban upah bagi pemberi kerja dan kesejahteraan untuk pekerja) itu harus berpikir.***