Punya Peran Strategis, DPR Minta Pemerintah Dorong Media Dengan Belanja Iklan

| BANDUNG,- Pandemi virus corona atau COVID-19 dianggap berdampak memberi tekanan pada industri media. Bahkan, sektor iklan maupun kerjasama komersil yang diperoleh media semakin kecil. Bahkan situasi tersebut mengancam eksistensi media mainstrem yang mampu menangkal hoax tergeser oleh sosial media. Anggota Komisi 1 DPR RI dari fraksi NasDem, Muhammad Farhan menilai, rangkaian jurnalistik yang membutuhkan pendanaan memadai jadi tantangan di masa pandemi. Situasi tersebut harus didorong karena hanya media yang mampu memenuhi keinginan publik untuk mendapatkan informasi resmi yang terverifikasi atau bebas dari hoax. Bahkan, di masa pandemi ini ada langkah perusahaan-perusahaan yang mengambil langkah pemotongan belanja media mainstream dan memindahkan ke media sosial. Dan hal itu dilhawatirkan mengancam keberlangsungan industri jurnalistik. "Industri media punya peran strategis sebagai sumber verifikasi berita dan informasi. Akuntabilitas media mainstream lebih tinggi daripada sekedar konten sosmed," ujar Farhan, Selasa 29 September 2020. Menurutnya, media yang merupakan bagian dari empat pilar demokrasi harus tetap menjadi corong atau jembatan bagi perusahan maupun lembaga pemerintah dan sejenisnya dengan memperkuat pada sektor komersil. Pasalnya, berdasarkan survei Imogen Communication Institute (IGI) terhadap 140 media di 10 kota besar di Indonesia. Hasilnya, 70,2 persen responden menyatakan pandemi Covid-19 ini berdampak terhadap bisnis media. "Industri media memiliki sejarah panjang dan kontribusi dalam perjuangan bangsa sejak sebelum kemerdekaan hingga masa sekarang," katanya. "Maka saya mendukung agar pemerintah pusat dan daerah mengalokasikan anggaran yang memadai untuk belanja iklan di media mainstream sebagai bagian dari menjaga Ketahanan Nasional," tambahnya. Terpisah, Ketua Fraksi NasDem DPR RI, Ahmad M Ali menjelaskan, program-program pemerintah untuk menangkal hoax dan literasi media berada diambang kegagalan jika tidak ada upaya afirmatif terhadap industri media. “Bisa dibayangkan kalau teman-teman jurnalis tidak bisa lagi dipekerjakan oleh industri media. Hoax, disinformasi, dan lainnya akan merajalela. Kerja jurnalis itu harus di dukung pemerintah, lembaga-lembaga pemerintah, kementerian dan lainnya harus punya kebijakan afirmatif belanja media,” katanya. Ali menegaskan, kebijakan afirmatif bagi keberlangsungan industri media mutlak diperlukan disaat ini. Dimasa gempuran informasi yang bertubi-tubi menurutnya hanya kerja jurnalistik yang bisa menjadi harapan dari masyarakat informasi yang sehat. “Industri pers itu dalam pengeluarannya sama dengan industri lain. Dia butuh belanja mulai dari energi yang dipakai, kertas, biaya kantor dan Gudang, sampai biaya riset dan inovasi. Sialnya, industri media tidak bisa bekerja serta merta hanya untuk mencari untung seperti industri komersil lainnya. Dari situlah panggilan tanggung jawab pemerintah karena pers merupakan bagian dari pilar demokrasi,” ungkapnya. Ali menambahkan, robohnya industri media akan menjadi bahaya bagi Indonesia. "Pemerintah sudah tepat menciptakan situasi dimana demand terhadap industri media tetap bertahan dan membesar dengan kampanye anti hoax dan penyesatan informasi. Perlu juga dongan dari sisi suplai, belanja media dari institusi pemerintah juga harus di dorong. Toh juga banyak kebijakan dan rencana strategis pemerintah yang perlu disosialisasikan,” pungkasnya. (wan)