Optimalisasi Kepatuhan Perusahaan Perlu didukung Aksi Perubahan Pengawasan Ketenagakerjaan

Oleh: Yoga Udayana/ Wartawan Senior

Ilustrasi. Foto: jabarprov.go.id

Ilustrasi. Foto: jabarprov.go.id

BANDUNG, Persoalan pengawasan ketenagakerjaan ternyata masih kompleks dan cenderung klasik. Akibatnya masih banyak terjadi permasalahan hubungan industrial antara perusahaan dan tenaga kerja. Ketidakpatuhan perusahaan dalam pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) serta norma kerja menjadi faktor penyebab utama. Padahal, pembangunan ketenagakerjaaan di bidang K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) dan norma kerja merupakan upaya perwujudan cita-cita pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945, Pelaksanaan norma kerja dan perlindungan dari berbagai faktor bahaya ditempat kerja merupakan hak dasar pekerja yang dijamin oleh undang-undang. Konsep pekerjaan yang layak meliputi beberapa hal diantaranya adalah: a. kepastian hubungan kerja yang menjamin hak-hak tenaga kerja; b. penciptaan lapangan kerja produktif dengan perlindungan dan jaminan sosial yang memadai; c. peningkatan kompetensi tenaga kerja; d. pencapaian produktivitas kerja serta penerapan K3. Pada era perdagangan global saat ini, pemenuhan hak-hak tenaga kerja sesuai peraturan perundang-undangan dan penerapan K3 sudah merupakan tuntutan kebutuhan usaha dalam pemenuhan syarat keberlangsungan usaha. Pengaruh perdagangan global menuntut dunia usaha, pemerintah dan masyarakat untuk selalu melaksanakan peningkatan efisiensi, efektifitas dan kualitas untuk mencapai produktivitas yang optimal. Penyebab lainnya yang menjadi maslah klasik adalah PHK sepihak tanpa pesangon yang dilakukan perusahaan masih menjadi permasalahan yang kerap terjadi. Gaji yang tidak sesuai UMK juga menjadi pengaduan para buruh dan pekerja akibat dari siasat perusahaan yang "nakal" tidak bayar gaji sesuai UMK. Pelaksanaan norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) masih banyak yang belum sepenuhnya dilakukan perusahaan. Semua ketidakpatuhan perusahaan tersebut merupakan sebuah masalah kompleks yang selalu menjadi persoalan pemerintah dalam "mengurus" ketenagakerjaan, tak terkecuali juga terjadi di Jabar. Ada fenomena yang menarik yang menjadi tantangan sekaligus harus segera diantisipasi oleh pemerintah. Salahsatunya, model pengawasan ketenagakerjaan masih mengandalkan relasi personal pengawas dan kepala unit pengawasan dengan pelapor dan perusahaan, Padahal dalam skema pengawasan modern di segala lini selalu mengandalkan model impersonal. Artinya, ada prosedur putus-putus antara pelaporan, pemeriksaan, penindakan hingga eksekusi. Hal ini diperlukan untuk mengatasi pelanggaran kode etik pengawasan. Selain itu, tata kelola pengawasan belum berjalan sehingga masih mengandalkan kebijakan personal pimpinan bukan berdasarkan sistem yang memadai. Sebagai contoh, sistem wajib lapor seharusnya bisa dibuka dan dijadikan acuan pelaksanaan pengawasan. Selanjutnya, banyak masalahpengawasan tidak diangkat jadi diskursus publik baik oleh serikat pekerja maupun pemerintah. Padahal peranan pengawasan ketenagakerjaan pada hakekatnya adalah memiliki target peningkatan kepatuhan perusahaan atas hukum ketenagakerjaan. Juga, pengawasan ketenagakerjaan berperan vital sebagai satu upaya untuk memberikan perlindungan terhadap tenaga kerja adalah melakukan Penyelenggaraan pengawasan ketenagakerjaan menjadi penting dilakukan untuk menjamin proses penyelenggaraan ketenagakerjaan sesuai peraturan perundangan. Pada Pasal 1 ayat (32) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Pasal 1 Ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2010 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan mendefinisikan pengawasan ketenagakerjaan sebagai kegiatan mengawasi dan menegakkan pelaksanaan peraturan perundang- undangan di bidang ketenagakerjaan. Pengawasan ketenagakerjaan adalah fungsi publik dari administrasi ketenagakerjaan yang memastikan penerapan perundang-undangan ketenagakerjaan di tempat kerja. Fungsi pengawasan ketenagakerjaan (Dungga, W. A., & Tome, A. H, 2019) adalah untuk: a. Menjamin penegakan hukum ketenagakerjaan; b. Memberikan penerangan dan penasihatan teknis kepada pengusaha dan pekerja/buruh mengenai hal-hal yang dapat menjamin efektifitas pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan; dan c. Mengumpulkan bahan keterangan mengenai hubungan kerja dan keadaan ketenagakerjaan dalam arti yang seluas-luasnya sebagai bahan penyusunan atau penyempurnaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. Pasca ditetapkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, penyelenggaraan pengawasan ketenagakerjaan menjadi kewenangan pemerintah provinsi, hal ini dapat dilihat dalam pengklasifikasian urusan pemerintahan. Khusus terkait urusan ketenagakerjaan tersebut, dalam Lampiran UU No. 23 Tahun 2014 pada point G dilakukan pengklasifikasian atau pemetaan urusan yang menjadi kewenangan masing-masing tingkatan pemerintahan. Ruang lingkup pelayanan publik di bidang ketenagakerjaan memang sangatlah kompleks. Namun ironisnya potret permasalahan ketenagakerjaan di Indonesia khususnya di Jawa Barat masih terkendala oleh permasalahan klasik, seperti keterbatasan pengawas ketenagakerjaan, anggaran yang terbatas, sampai perusahaan yang menjadi fokus pengawasan yang tidak sebanding dengan pengawas yang ada. Tentu saja faktor tersebut seringkalinmempengaruhi kualitas pelayanan pengawasan ketenagakerjaan yang dilakukan pengawas ketenagakerjaan. Merujuk pada Permenaker Nomor 33 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengawasan Ketenagakerjaan, sejatinya sudah cukup jelas mengatur prosedur pengawasan dan penegakan hukum ketenagakerjaan yang secara implementasi pelaksanaan pelayanan publik terkait dengan pengawasan ketenagakerjaan dapat dilaksanakan dengan baik. Pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan dilaksanakan melalui tahapan preventif edukatif, represif non justisia dan represif justisia. Namun untuk pengawasan yang bersumber dari rencana kerja Pengawas Ketenagakerjaan atau pengaduan pekerja, sangat sulit diukur efektifitasnya. Seringkali tahapan yang dilalui cenderung preventif edukatif (pembinaan, penasihatan teknis, dan pendampingan) dan represif non-yustisial (Nota Pemeriksaan atau surat pernyataan kesanggupan pemenuhan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan). Kenyataan di lapangan, lelaksanaan pemeriksaan yang dilakukan tidak terstruktur dan cenderung acak dengan pendekatan pembinaan memang lebih dominan. Hal ini tentu akan menjadi kendala tersendiri tatkala pengusaha tidak kooperatif dan tidak melaksanakan Nota Pemeriksaan. Metode pembinaan saja tidaklah dalam mengukur efektifitas pengawasan ketenagakerjaan, sehingga diperlukan serangkaian AKSI PERUBAHAN yang teraktualisasi melalui PEMETAAN KERAWANAN. Pemetaan perawanan tersebut memuat riwayat pemeriksaan dan status perusahaan yang telah dilakukan oleh pengawas ketenagakerjaan dalam sebuah yang pada akhirnya menghasilkan aplikasi pemetaan kerawanan perusahaan sehingga dapat dijadikan evaluasi dan kebijakan oleh pimpinan. Ada beberapa hal aksi perubahan yang perlu dilakukan sebagai upaya optomalisasi pengawasan ketenagakerjaan, yaitu; Pertama, menyusun peta kerawanan perusahaan (kategorisasi Merah, Kuning, Hijau) sehingga pengawas paham mana yang perlu penanganan intensif mana yang cukup dilakukan pembinaan dan sosialisasi saja. Kedua, diperlukan mekanisme penempatan pengawas yang fleksibel, tidak hanya di ibu kota provinsi tapi bisa dimobilisasi di kawasan industri dan bisa saling melakukan perbantuan, Ketiga, perlu peningkatan kompetensi pengawas dan PPNS, sertapendekatan khusus kepada gubernur, dikarenakan domain pengawasan sekarang berada dibawah kendali Gubernur. Kepatuhan perusahaan terhadap pelaksanaan semua peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan akan berdampak signifikan kepada tenaga kerja kita dalam pembangunan nasional. Tentunya kualitas dan produktivitas tenaga kerja kita pun akan semakin meningkat. Juga mampu berdaya saing dari berbagai tantangan yang dihadapi serta dari kompetitor tenaga kerja luar Jabar. Pada gilirannya nanti, tenaga kerja Jabar akan dapat memberikan sumbangsih meningkatkan produktivitas nasional.